MOBIL NASIONAL (Inovasi atau Ilusi?)

Oleh
Dr. H. Susilo Surahman, MCE.

Setiap kali Indonesia memperingati Hari Inovasi, saya selalu bertanya: apakah kita benar-benar sedang merayakan inovasi, atau sekadar mengulang harapan yang belum terwujud? Tahun ini, pertanyaan itu terasa lebih relevan dari sebelumnya. Di tengah gegap gempita peringatan 1 November 2025, pemerintah kembali menggulirkan wacana Mobil Nasional—kali ini dalam bentuk kendaraan listrik yang disebut-sebut sebagai tonggak kemandirian teknologi bangsa.

Sebagai seorang dosen yang bergelut dengan dunia pendidikan dan riset, saya menyambut baik semangat inovasi. Namun, saya juga belajar bahwa inovasi bukanlah sekadar produk yang dipamerkan di pameran otomotif atau prototipe yang viral di media sosial. Inovasi adalah proses panjang yang melibatkan keberanian untuk berpikir berbeda, kesediaan untuk gagal, dan komitmen untuk terus belajar.

Mobil Nasional, dalam sejarah kita, bukanlah gagasan baru. Kita pernah mengenal Timor, GEA, dan Esemka—semuanya lahir dengan semangat serupa, namun berakhir sebagai proyek yang tak berlanjut. Kini, dengan peluncuran prototipe baru yang diklaim akan diproduksi massal mulai tahun depan, publik kembali dihadapkan pada pilihan: percaya atau skeptis.

Saya memilih untuk kritis. Bukan karena pesimis, tetapi karena cinta pada negeri ini. Inovasi sejati tidak bisa dibangun di atas euforia sesaat. Ia membutuhkan ekosistem yang mendukung: riset yang berkelanjutan, keterlibatan kampus dan SMK, industri yang siap berkolaborasi, serta transparansi dalam setiap tahap pengembangan. Tanpa itu semua, mobil nasional hanya akan menjadi “mobil politik”—berjalan saat kampanye, mogok saat evaluasi.

Hari Inovasi Indonesia seharusnya menjadi momentum refleksi. Apakah kita sudah memberi ruang bagi anak-anak muda untuk bereksperimen? Apakah dunia pendidikan sudah menjadi laboratorium gagasan, bukan hanya ruang hafalan? Apakah pemerintah benar-benar mendengar suara para peneliti, teknisi, dan komunitas kreatif?

Saya percaya, mobil nasional bisa menjadi simbol kebangkitan jika dibangun dengan jujur dan kolaboratif. Ia bisa menjadi kebanggaan jika berpijak pada realitas, bukan ambisi semata. Tapi jika tidak, ia hanya akan menjadi ilusi yang terus diulang setiap lima tahun sekali.

Inovasi bukanlah seremoni. Ia adalah komitmen. Dan Hari Inovasi Indonesia adalah panggilan bagi kita semua—pendidik, pemimpin, pelajar, dan warga negara—untuk menjadikan keberanian berpikir sebagai budaya, bukan pengecualian. Selamat Hari Inovasi Indonesia.