DARI TABUNG KE DIGITAL (Siaran Analog Resmi Purna Tugas, Tapi Apakah Semua Rakyat Sudah Siap?)

Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, MCE.

Tanggal 2 November 2025 akan tercatat dalam sejarah penyiaran Indonesia sebagai hari di mana siaran televisi analog resmi dihentikan. Setelah lebih dari lima dekade menemani masyarakat dari balik layar kaca tabung, era analog kini menutup lembarannya. Pemerintah menyebut ini sebagai langkah maju menuju digitalisasi informasi. Namun, di balik gegap gempita perayaan teknologi, ada pertanyaan yang menggantung di udara: apakah seluruh rakyat Indonesia benar-benar siap?

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial diramaikan oleh keluhan warga dari pelosok negeri. Ada yang mengunggah foto televisi gelap tanpa sinyal, ada pula yang mengeluhkan belum menerima set top box gratis yang dijanjikan pemerintah. Di sisi lain, muncul pula perbincangan tentang kualitas tayangan digital yang tak jauh berbeda dari era analog—penuh hiburan ringan, minim edukasi. Transisi ini, yang seharusnya menjadi lompatan besar menuju keadilan informasi, justru menyingkap ketimpangan yang belum terselesaikan.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa hingga akhir Oktober 2025, distribusi set top box baru menjangkau sekitar 70% rumah tangga miskin yang terdaftar. Artinya, masih ada jutaan keluarga yang berpotensi kehilangan akses terhadap informasi publik. Sementara itu, laporan Komisi Penyiaran Indonesia menyebutkan bahwa hanya 12% dari total siaran televisi nasional yang berisi konten edukatif. Sisanya didominasi oleh hiburan, gosip selebriti, dan acara realitas yang viral namun dangkal.

Sebagai akademisi yang mengamati dinamika komunikasi publik, saya melihat bahwa penghapusan siaran analog bukan sekadar urusan teknis. Ini adalah soal keadilan sosial dan demokratisasi informasi. Ketika akses perangkat belum merata, sinyal digital belum menjangkau seluruh wilayah, dan konten siaran belum sepenuhnya mendidik, maka digitalisasi hanya menjadi kosmetik modernisasi—bukan transformasi substansial.

Bayangkan seorang ibu di pedalaman Kalimantan yang biasa menonton berita malam lewat televisi tabungnya. Hari ini, layar itu gelap. Bukan karena ia tak ingin tahu, tapi karena ia belum punya alat untuk tahu. Di sisi lain, anak-anak di kota besar disuguhi tayangan yang viral tapi miskin nilai. Inilah paradoks digitalisasi: terang sinyal belum tentu membawa terang informasi.

Karena itu, saya mengajak semua pihak—pemerintah, lembaga penyiaran, akademisi, dan masyarakat—untuk tidak berhenti pada sukses teknis Analog Switch Off. Kita harus memastikan bahwa siaran digital benar-benar menjadi jembatan pengetahuan, bukan sekadar saluran hiburan. Literasi media harus ditingkatkan, konten siaran harus dikurasi, dan infrastruktur digital harus dipercepat pemerataannya.

Digitalisasi bukan tujuan akhir. Ia hanyalah alat. Tujuan sejatinya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan itu hanya bisa tercapai jika setiap warga, dari kota hingga pelosok, punya hak yang sama untuk melihat, mendengar, dan memahami dunia melalui layar mereka. Selamat Hari Penghapusan Siaran Analog Indonesia.