KEROHANIAN DAN MORAL DIGITAL (Menguji Empati di Tengah Badai Viral Bullying)

Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd.

Kita semua menyaksikan badai itu. Baru-baru ini, jagat media sosial kembali diguncang oleh [satu video yang mempertontonkan aksi kekerasan antarpelajar di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Bandung viral di media sosial, beberapa waktu yang lalu, yang berawal dari tantangan yang viral di TikTok]. Dampaknya cepat, brutal, dan tak terelakkan. Dalam hitungan jam, hidup seseorang dihakimi, dihancurkan, dan menjadi tontonan massal. Tragisnya, smartphone yang seharusnya menjadi alat konektivitas, kini menjadi alat amplifikasi kekejaman; mengubah saksi menjadi pelaku yang turut menyebarkan penderitaan.

Fenomena bullying yang terdigitalisasi ini bukan sekadar masalah hukum atau disiplin sekolah. Ini adalah alarm kolektif yang berbunyi sangat keras, mendesak kita untuk menoleh pada kalender: 3 November adalah Hari Kerohanian. Mengapa kita harus menghubungkan Hari Kerohanian dengan viralnya perundungan? Karena bullying yang kita saksikan adalah cerminan kegagalan spiritual dan moral bangsa. Ia adalah bukti bahwa ritual dan ajaran luhur kita belum berhasil diterjemahkan menjadi Empati Digital, yaitu kewajiban untuk menjaga martabat sesama manusia, bahkan di balik layar gawai.

Sebagai seorang dosen, saya melihat akar masalah ini di dua tempat. Pertama, Dehumanisasi Digital. Layar gawai menciptakan ilusi jarak. Bagi pelaku bullying dan para komentator, korban seringkali terasa seperti karakter dua dimensi. Tidak ada sentuhan mata, tidak ada air mata yang terlihat nyata. Mereka memanfaatkan apa yang disebut para ahli sebagai “Efek Disinhibisi” (Disinhibition Effect), di mana anonimitas dan jarak fisik membuat filter moral luntur, dan kata-kata kejam pun dilontarkan tanpa beban rasa bersalah.

Kedua, Kerohanian yang Terfragmentasi. Analisis saya menunjukkan bahwa kerohanian saat ini sering kali bersifat individualistis, terfokus pada keselamatan diri sendiri dan ritual pribadi, namun terputus dari dimensi sosial. Kita rajin menjalankan ibadah, tapi lupa bahwa esensi sejati dari semua ajaran luhur adalah tindakan etis; bagaimana kita memperlakukan orang yang lemah, yang berbeda, dan yang jatuh. Jika ibadah kita rutin, tetapi hati kita beku di hadapan penderitaan orang lain, maka kerohanian kita hanyalah sekadar cangkang. Apa gunanya kita rajin beribadah dan berdoa jika jari kita dengan mudahnya ikut menghakimi, merundung, atau menyebarkan aib orang lain di media sosial?

Hari Kerohanian ini harus menjadi momentum pertobatan sosial, bukan sekadar perayaan. Kita tidak bisa lagi memisahkan pendidikan moral dengan pendidikan digital. Kita membutuhkan kurikulum Empati Digital yang adaptif. Pendidikan harus beralih dari hafalan dogma ke Aksi Altruisme Digital. Ini berarti mengajarkan konsekuensi jangka panjang dari Jejak Digital, dan menggerakkan individu untuk berani membela korban serta melaporkan konten negatif. Keluarga, sebagai benteng pertama, wajib menjadi role model dalam beretika digital, mengajarkan anak untuk bersikap hormat kepada netizen sebagaimana mereka menghormati tetangga di dunia nyata.

Hari Kerohanian pada 3 November 2025 ini harus menjadi titik balik. Ini adalah kesempatan kita untuk membuktikan bahwa ritual spiritual yang kita jalankan tidak sia-sia; bahwa ia berbuah pada akhlak yang mulia. Mari kita jadikan momentum ini untuk berjanji: mengubah gawai kita dari alat penghakiman menjadi instrumen kasih sayang dan platform empati. Karena kerohanian sejati tidak dinilai dari seberapa sering kita beribadah, melainkan dari seberapa besar hati kita mampu merasakan dan meringankan penderitaan sesama. Inilah saatnya spiritualitas kita turun ke digital, menyelamatkan martabat manusia, satu unggahan bijak pada satu waktu. Selamat Hari Kerohanian