CINTA PUSPA DAN SATWA DI TENGAH MABUK AGAMA Refleksi Ekologis atas Krisis Moral Bangsa

Oleh
Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd., MCE.

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Masjid berdiri megah di setiap sudut kota, doa mengalun di ruang publik, dan ayat-ayat suci dikutip dalam pidato kenegaraan. Namun, di tengah gemuruh spiritualitas itu, hutan tetap ditebang, satwa diburu, dan sungai tercemar. Kita menyebut diri sebagai bangsa beriman, tetapi alam yang menjadi amanah Tuhan justru kita rusak tanpa rasa bersalah. Apakah kita sedang mabuk agama, tapi lupa mencintai ciptaan-Nya?

Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang diperingati setiap 5 November seharusnya menjadi momentum reflektif. Ia bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan panggilan untuk meninjau ulang relasi kita dengan alam. Sebab, cinta kepada puspa dan satwa bukanlah urusan aktivis lingkungan semata, melainkan wujud nyata dari iman yang berilmu dan beramal. Ketika agama hanya menjadi ritual tanpa etika ekologis, kita kehilangan substansi spiritual. Kita berdoa agar diberi rahmat, tapi menutup mata terhadap penderitaan makhluk hidup yang Tuhan ciptakan untuk kita jaga.

Beberapa waktu terakhir, pernyataan Yudo Sadewa viral di media sosial: “Indonesia adalah negara religius, tapi tidak berkembang.” Kritik ini menyentil banyak pihak, terutama ketika dikaitkan dengan kerusakan lingkungan yang terus terjadi. Ironisnya, pada 5 November 2025, langit menghadirkan Supermoon Emas—fenomena langka yang seolah menjadi pengingat kosmik bahwa alam masih bicara, meski manusia sibuk berdebat. Langit terang, tapi hati kita gelap terhadap nasib flora dan fauna yang kian terpinggirkan.

Dalam Islam, manusia adalah khalifah di bumi. Amanah ini bukan hanya tentang memimpin, tapi juga menjaga. Tauhid ekologis mengajarkan bahwa mencintai alam adalah bagian dari mencintai Allah. Puspa dan satwa adalah ayat-ayat kauniyah yang harus direnungi, bukan dieksploitasi. Ketika kita merusak alam, kita sedang mengkhianati amanah spiritual. Kita lupa bahwa rahmat semesta bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk makhluk hidup lainnya.

Sudah saatnya pendidikan agama di sekolah dan pesantren memasukkan etika lingkungan sebagai bagian dari kurikulum. Para dai dan khatib perlu menyuarakan pentingnya menjaga puspa dan satwa dalam khutbah Jumat. Pemerintah dan ormas Islam bisa berkolaborasi dalam gerakan “Hijrah Ekologis”—berpindah dari eksploitasi menuju konservasi. Kita perlu membangun kesadaran bahwa menjaga alam adalah ibadah, dan mencintai satwa adalah bagian dari akhlak mulia.

Hari Cinta Puspa dan Satwa bukan sekadar peringatan tahunan, tapi panggilan untuk kembali pada esensi iman: menjadi rahmat bagi semesta. Jika kita benar-benar religius, maka cinta kita kepada puspa dan satwa harus menjadi bukti. Sebab, Tuhan tidak hanya hadir di tempat ibadah, tapi juga di hutan yang sunyi, di sungai yang jernih, dan di mata satwa yang menatap kita dengan harap. Selamat Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional.