BILQIS DAN PARA PAHLAWAN (Saat Anak Bangsa Butuh Perlindungan, Bukan Sekadar Peringatan)

Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, MCE.

Hari itu, langit tampak biasa saja. Tak ada tanda-tanda bahwa bangsa ini sedang kehilangan sesuatu yang berharga. Namun di sebuah sudut hutan yang sunyi, seorang anak perempuan bernama Bilqis ditemukan dalam kondisi lemah, setelah enam hari menghilang tanpa kabar. Tubuhnya ringkih, matanya kosong, dan dunia seakan berhenti sejenak. Ia bukan hanya seorang anak yang hilang—ia adalah cermin dari rapuhnya perlindungan kita terhadap generasi penerus bangsa.

Ironisnya, peristiwa itu terjadi menjelang peringatan Hari Pahlawan. Sebuah hari yang setiap tahun kita rayakan dengan upacara, karangan bunga, dan pidato-pidato penuh semangat. Kita mengenang keberanian arek-arek Surabaya yang pada 10 November 1945 melawan pasukan Sekutu dengan semangat membara. Kita mengagumi Bung Tomo yang dengan suara lantangnya membakar semangat rakyat, mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Hari Pahlawan adalah monumen moral tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air.

Namun, di tengah peringatan itu, kita dihadapkan pada pertanyaan yang tak bisa dihindari: apakah semangat kepahlawanan itu masih hidup dalam keseharian kita? Apakah kita masih memiliki keberanian untuk melindungi yang lemah, untuk bertindak ketika kejahatan terjadi di depan mata?

Kasus Bilqis bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah alarm keras bagi nurani kita. Di era ketika informasi menyebar dalam hitungan detik, seorang anak bisa hilang selama hampir seminggu tanpa pertolongan berarti. Di tengah masyarakat yang sibuk dengan gawai dan konten viral, siapa yang benar-benar peduli? Siapa yang berani menjadi pahlawan, bukan dengan senjata, tapi dengan empati dan tindakan nyata?

Sebagai seorang pendidik dan pemimpin lembaga pendidikan, saya percaya bahwa kepahlawanan hari ini tidak lagi berbentuk heroisme fisik semata. Ia menjelma dalam bentuk keberanian moral: keberanian untuk peduli, untuk melindungi, untuk tidak diam saat ketidakadilan terjadi. Kepahlawanan adalah ketika seorang guru melindungi muridnya dari kekerasan. Ketika seorang tetangga melaporkan kejanggalan demi keselamatan anak di lingkungan sekitarnya. Ketika aparat bertindak cepat bukan karena viral, tapi karena nurani.

Hari Pahlawan seharusnya menjadi momentum untuk menyalakan kembali api kepedulian. Kita butuh sistem perlindungan anak yang lebih kuat, edukasi publik yang lebih luas, dan budaya gotong royong yang lebih hidup. Kita perlu menanamkan nilai kepahlawanan dalam pendidikan, bukan hanya sebagai pelajaran sejarah, tetapi sebagai karakter yang dibentuk sejak dini.

Bilqis telah kembali. Tapi luka sosial yang ia tinggalkan masih menganga. Ia mengingatkan kita bahwa bangsa ini masih butuh pahlawan—bukan yang berdiri di atas panggung, tetapi yang hadir di tengah masyarakat. Yang tak menunggu sorotan kamera, tapi bergerak karena cinta dan tanggung jawab.

Maka, di Hari Pahlawan ini, mari kita berhenti sejenak. Bukan untuk mengenang masa lalu semata, tetapi untuk bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku menjadi pahlawan bagi sekitarku? Selamat Hari Pahlawan.