Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd., MCE.
Setiap tanggal 28 Oktober, kita mengenang momen bersejarah ketika para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara menyatakan satu tekad: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu—Indonesia. Namun, sembilan puluh tujuh tahun setelah ikrar itu diucapkan, saya merasa perlu mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam: apakah persatuan itu masih hidup dalam ruang digital yang kita tempati hari ini?
Sebagai dosen yang setiap hari berinteraksi dengan generasi muda, saya menyaksikan betapa luasnya dunia mereka. Mereka fasih berbahasa Indonesia, bahkan Inggris, Jepang, Korea. Mereka terhubung dengan dunia melalui layar, namun sering kali terputus dari nilai-nilai kebangsaan. Di ruang kelas, saya mendengar semangat, tetapi juga kebingungan. “Kami satu bahasa, tapi beda dunia,” ujar seorang mahasiswa dalam diskusi tentang nasionalisme. Kalimat itu menggema dalam benak saya—menjadi refleksi tentang realitas pemuda hari ini.
Era digital telah membuka pintu ekspresi yang luar biasa. Pemuda bisa menyuarakan pendapat, membangun komunitas, bahkan memimpin gerakan sosial. Namun, di balik kemudahan itu, tersembunyi tantangan besar: polarisasi, disinformasi, dan fragmentasi gagasan. Kita tidak lagi terpecah oleh sekat geografis, tetapi oleh algoritma yang membentuk cara berpikir kita. Bahasa boleh sama, tetapi makna bisa berbeda.
Saya percaya bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar teks sejarah yang dihafal saat upacara. Ia adalah panggilan untuk bersatu dalam cita dan karya. Pendidikan kebangsaan harus melampaui hafalan; ia harus menjadi ruang dialog, tempat pemuda belajar menyaring informasi, membangun gagasan, dan menyatukan visi. Di sinilah peran kampus, guru, dan orang tua menjadi krusial: bukan untuk mengontrol, tetapi untuk membimbing.
Pemuda Indonesia hari ini memiliki potensi luar biasa. Mereka kreatif, adaptif, dan berani. Namun, potensi itu harus diarahkan. Kita tidak bisa membiarkan mereka bersumpah hanya di podium, lalu terpecah di kolom komentar. Kita perlu sumpah yang baru—sumpah untuk berpikir kritis, untuk menyaring nilai, untuk berkarya demi Indonesia yang lebih utuh.
Sumpah Pemuda 2025 bukan hanya tentang mengenang masa lalu. Ia adalah ajakan untuk menyatukan gagasan di tengah keragaman digital. Mari kita dorong pemuda untuk bersatu bukan hanya dalam bahasa, tetapi dalam nilai, dalam visi, dan dalam tindakan nyata. Karena di tangan merekalah masa depan Indonesia ditulis—bukan dengan retorika, tetapi dengan karya. Selamat Hari Sumpah Pemuda.
 
															