DARI BENCANA KE PERSAUDARAAN (Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional sebagai Momentum Iman dan Gotong Royong)
Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd., MCE.
Beberapa pekan terakhir, jagat media sosial Indonesia dipenuhi dengan kisah pilu dari Sumatra. Banjir bandang yang datang tiba-tiba merenggut puluhan nyawa, menghancurkan rumah-rumah, dan memaksa ribuan orang mengungsi. Foto-foto warga yang berjuang menyelamatkan diri, serta video relawan yang menembus lumpur demi menolong sesama, menjadi viral dan menyentuh hati banyak orang. Tragedi ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan ujian sosial yang menyingkap sejauh mana kita masih memiliki kepedulian terhadap sesama.
Di tengah suasana duka itu, bangsa Indonesia kembali diingatkan pada sebuah momentum penting: Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang diperingati setiap 20 Desember. HKSN lahir dari semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa sejak masa perjuangan. Ia bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan panggilan moral agar kita tidak melupakan akar kebersamaan yang membuat bangsa ini bertahan menghadapi berbagai krisis.
Dalam perspektif agama, kesetiakawanan sosial bukanlah nilai tambahan, melainkan inti dari iman. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2). Rasulullah SAW pun menegaskan, “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Ayat dan hadits ini menegaskan bahwa solidaritas sosial adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar etika sosial.
Namun, kenyataan di lapangan sering menunjukkan paradoks. Kepedulian masyarakat memang cepat muncul saat bencana terjadi, tetapi sering kali meredup begitu berita viral berganti. Kita masih melihat ketimpangan sosial yang mencolok, lemahnya perhatian terhadap kaum miskin, dan sikap acuh terhadap masalah lingkungan yang justru memicu bencana. Kesetiakawanan sosial sering berhenti pada level retorika, belum menjadi budaya yang konsisten.
Momentum HKSN seharusnya menjadi titik balik. Kita bisa memulainya dari hal-hal sederhana: menghidupkan kembali gotong royong di kampung dan kompleks perumahan, membangun gerakan sedekah dan zakat yang terorganisir, serta memperkuat pendidikan kesetiakawanan di sekolah dan kampus. Generasi muda perlu tumbuh dengan kesadaran bahwa solidaritas bukan hanya reaksi sesaat, melainkan sikap hidup. Media digital pun bisa dimanfaatkan bukan sekadar untuk menyebarkan berita viral, tetapi untuk menggalang aksi nyata, seperti donasi daring atau kampanye peduli lingkungan.
Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional bukanlah sekadar tanggal di kalender. Ia adalah panggilan iman dan kebangsaan. Tragedi yang viral hanyalah cermin bahwa kita masih diuji dalam hal kepedulian. Mari menjadikan HKSN sebagai momentum untuk memperkuat persaudaraan, menghidupkan kembali gotong royong, dan meneguhkan iman melalui aksi nyata. Sebab, bangsa yang besar bukan hanya yang kuat secara ekonomi, tetapi yang kokoh dalam solidaritas dan kasih sayang. Selamat Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.
