ibisa, kampus purworejo, bidan, kebidanan, kampus IT, bisnis digital, sains data, informatika, kampus kesehatan, kuliah kebidanan, kuliah bidan, kuliah TI,
Inovatif, Berjiwa Muda, Insightful, Smart dan Adaptif
085601564444

HOAKS, SENSASI, DAN UJIAN KEBANGSAAN (Memaknai Bela Negara sebagai Amal Moral)

Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd., MCE.

Beberapa waktu terakhir, ruang digital kita kembali dipenuhi oleh konten sensasional. Potongan video tanpa konteks, judul provokatif, dan narasi emosional menyebar lebih cepat daripada klarifikasi. Yang memprihatinkan, tidak sedikit warga yang dengan ringan membagikannya, seolah kebenaran bukan lagi hal utama. Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap bangsa hari ini tidak selalu datang dari luar, melainkan juga dari dalam, melalui perilaku kita sendiri di ruang publik digital.

Dalam konteks inilah, peringatan Hari Bela Negara, 19 Desember, menjadi relevan untuk dimaknai ulang. Bela negara tidak lagi terbatas pada pengorbanan fisik atau konteks militeristik. Ia menjelma menjadi tanggung jawab etis setiap warga negara dalam menjaga kewarasan publik, persatuan sosial, dan keutuhan nilai kebangsaan, terutama di tengah derasnya arus informasi yang tak selalu benar.

Sebagai akademisi, saya memandang bahwa bela negara hari ini adalah perjuangan moral dan intelektual. Sikap kritis, kehati-hatian dalam bermedia, serta keberanian menolak hoaks merupakan bentuk nyata pembelaan terhadap negara. Ketika kebenaran dikorbankan demi sensasi, sesungguhnya kita sedang merapuhkan fondasi kepercayaan sosial yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa.

Dari sudut pandang akademik, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep post-truth society, yaitu kondisi ketika emosi dan opini personal lebih berpengaruh dibandingkan fakta objektif. Dalam situasi seperti ini, media sosial berfungsi bukan hanya sebagai saluran informasi, tetapi juga sebagai arena pembentukan persepsi dan identitas. Tanpa literasi kritis, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi, prasangka, dan konflik horizontal. Inilah tantangan serius bagi bela negara di era digital.

Nilai-nilai agama sejatinya menawarkan fondasi etik yang kuat untuk menghadapi situasi ini. Hampir semua ajaran agama menekankan kejujuran, kehati-hatian dalam berbicara, serta larangan menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya. Dalam tradisi Islam, misalnya, prinsip tabayyun mengajarkan verifikasi sebelum mempercayai dan menyebarkan informasi. Menjaga lisan dan tulisan dari kebohongan bukan sekadar etika sosial, melainkan juga tanggung jawab spiritual.

Sayangnya, nilai-nilai luhur ini sering kali tereduksi oleh dorongan popularitas dan hasrat menjadi bagian dari arus viral. Kritik perlu diarahkan bukan kepada individu tertentu, melainkan pada budaya bermedia yang semakin permisif terhadap kebohongan dan sensasi. Ketika ujaran kasar dianggap lumrah dan hoaks dianggap hiburan, di situlah bela negara kehilangan dimensi moralnya.

Oleh karena itu, diperlukan langkah konstruktif yang melibatkan berbagai pihak. Kampus dan lembaga pendidikan perlu memperkuat literasi digital berbasis nilai etika dan agama. Tokoh agama dan intelektual hendaknya hadir di ruang publik digital sebagai penyejuk, bukan pemantik konflik. Sementara itu, masyarakat luas perlu menyadari bahwa setiap klik, unggahan, dan komentar memiliki konsekuensi sosial dan kebangsaan.

Pada akhirnya, bela negara di era digital adalah soal kesadaran moral. Ia tidak selalu ditunjukkan dengan heroisme besar, melainkan melalui tindakan sederhana: menahan diri sebelum membagikan informasi, memilih kata yang bermartabat, dan menempatkan kebenaran di atas sensasi. Di hadapan Tuhan dan bangsa, sikap-sikap kecil inilah yang kelak menjadi ukuran keutuhan iman dan kecintaan kita pada tanah air. Selamat Hari Bela Negara.

?>